Seni Menafasi Kehidupan

Blog Single

Oleh: Muhammad Hatim Hadziq

Hidup ini sesungguhnya adalah tentang “cara”. Ya, cara, teknik, how to, atau the way. Apa pun masalah yang sedang kau hadapi, hasil akhirnya akan berbuah manis atau pahit, berdampak positif atau negatif, sepenuhnya berbanding lurus dengan “caramu”.

Saking begitu prinsipilnya urusan cara ini, ia sangat memadai untuk dijadikan “alat berkaca” guna melihat diri atau orang lain “telah menempuh hidup dengan baik atau tidak”. Cara, tak pelak, merupakan pengukur seberapa tinggi level pengetahuan (pendidikan) kita, adab kita, dan bahkan spiritualitas kita.

So, pikirankanlah matang-matang terlebih dahulu “caramu” dalam berucap dan bertindak di hadapan masalah atau keinginan apa pun yang hendak kau tuju.

Mungkin saja seseorang akan berpikir bahwa jika kita mengutamakan cara, itu pertanda kita rentan munafik. Anggap saja, misal, saya ingin menolak seseorang yang hendak meminjam uang dengan jumlah besar. Saya ada uang itu. Tapi saya sungguh cemas ia tak amanah sebab rekam jejaknya kurang terdengar merdu selama ini. Lalu saya berkata, “Maaf ya, ini bukan saya nggak mau bantu, tapi saya sedang banyak kewajiban yang harus saya selesaikan terlebih dahulu.”

Orang yang tahu bahwa saya sebenarnya tidak berada dalam posisi demikian, mungkin akan bergumam, “Ah, bohong. Bohong kan bagian dari tanda munafik?”

Dari satu sudut itu, bolehlah klaim itu dibenarkan. Tetapi, kau harus mengerti, bahwa hidup ini berjuta sudut. Kita akan menjadi robot jika melihat dan menempuh hidup ini hanya dari satu sudut.

Bahwa saya lebih ingin menghindakan diri dari “potensi negatif lebih besar” dengan tetangga jika saya meminjaminya uang, misal sampai ribut sebab ia tak menepati janji pengembaliannya, sehingga saya menempuh sebuah cara untuk melepaskannya, ini adalah contoh sudut pandang lain. Tetapi ada berjubel sudut pandang lain yang sangat layak untuk dijadikan pertimbangan dulu.

Yang justru ironis ialah saat kita gagal meraih “cara terbaik”, padahal jalan itu tersedia andai kita mau berpikir lebih dalam dan menenangkan diri sejenak. Yang justru menyedihkan ialah saat kita menuai panen pahit semata akibat kita gelap mata hati dan pikiran untuk melihat “jubelan cara” yang sebenarnya tersedia, dengan hanya terjebak pada satu cara baku semata.

Orang yang mengalami masalah cara ini pastilah tipikal orang reaktif (kurang reflektif, miskin permenungan, fakir pemikiran). Nesuan, mutungan, ngamukan. Sesungguhnya, ia hanya perlu berdiam diri sejenak, untuk memberikan kesempatan kepada mata hati dan pikirannya bekerja sebagaimana manusia. Tetapi, justru yang mengemukan, betapa seringnya kita menepikan kerja hati dan akal semata akibat gagal menyelamatkan diri dari gelegar emosi, bukan

Ya, emosi.

Musuh paling serius dalam masalah ini adalah belenggu emosi. Amarah.

Di luar itu?

Pendidikan (pengetahuan) dan pergaulan.

Disebabkan kita menghuni kehidupan ini laksana lalat dalam toples kaca, jadilah kita merasa telah begitu tahu banyak tentang kehidupan ini, padahal sejatinya kita tidak pernah ke mana-mana.

Mata si lalat bisa melihat ke sekitar tempatnya terkurung dari balik toples kaca itu. Tetapi, sungguh ia tak pernah melihat dan mengetahui segala warna di balik tembok tempat toplesnya diletakkan.  Ia sebenarnya hanya “seolah” telah melihat dan mengetahui kehidupan luas ini.

Jika kau berpikir bahwa kau telah mengetahui banyak hal tentang kehidupan ini dan berkelana dengan banyak orang, dapat dipastikan bahwa engkaulah contoh sempurna dari orang yang berpotensi besar miskin “cara”.

Alamiahnya, apa yang kau pikir hari ini sebagai “cara terbaik” haruslah memperoleh antitesa dari kelana pengetahuan dan pergaulanmu di periode-periode selanjutnya. Soal apakah cara yang kau teropongkan terhadap satu hal itu menggunakan cara yang lama, atau cara lama tapi sedikit dimodifikasi, atau bahkan sama sekali cara baru, itulah cermin dari “kau bukanlah lalat dalam toples kaca itu”. Ada proses pemikiran dan permenungan di situ.

Apa pun yang kau inginkan dalam hidup ini, sekali lagi, timbang dengan matang caramu. Teramat sering, cara itulah yang akan menjadi penentu apakah keinginan yang kita perjuangkan itu “baik/buruk”, bahkan “halal/haram”.

Maka, pecahkan saja toples itu, agar kau bisa keluar, melihat lebih banyak, dan mengetahui lebih banyak pula.

Share this Post1: