Akhlak Manusia sebagai Manifestasi Khalifah di Bumi
Efa Ida Amaliyah
fahirasiti@gmail.com
fahirasiti@gmail.com
Manusia diciptakan untuk mengemban tugas sebagai khalifah di bumi dengan diberi karunia kemampuan yang sangat istimewa berupa kekuatan dan kemampuan akal fikiran yang membedakan dengan binatang. Karenanya, sudah sepantasnya akal fikir tersebut beriman kepada-Nya sebagai pencipta alam semesta. Allah mengirim wahyu untuk mengaktifkan akal manusia dengan meluruskan imannya serta pedoman dalam ibadah yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Hubungan akal dan wahyu tidak dapat dipahami secara structural (hubungan atas bawah), melainkan dipahami secara fungsional. Akal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan wahyu memberi wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh akal, dan juga untuk menginformasikan hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal (Sahirul Alim, 1998: 105).
Manusia mempunyai akhlak yang harus dijunjung dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak menjadi tujuan Nabi Muhammad saw. kepada umatnya untuk menyempurnakan. Sebagaimana dalam hadis “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Meskipun demikian, akhlak yang dipunyai manusia terdiri dari dua, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan. Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat (Ahmad Tafsir, 2005: hal. 34-35).
Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi dan pembentukan akhlak, karenanya sebagai sumber pertama Al-Qur’an harus dijadikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu untuk menuntun kita sebagai manusia berhasil dan menjadi manusia yang ber-akhlakul karimah dengan bertakwa (mengikuti yang diperintahNya dan menjauhi yang dilarangNya). Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang akhlak sangat banyak dan beragam.
Manusia mempunyai akhlak yang harus dijunjung dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak menjadi tujuan Nabi Muhammad saw. kepada umatnya untuk menyempurnakan. Sebagaimana dalam hadis “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Meskipun demikian, akhlak yang dipunyai manusia terdiri dari dua, yaitu akhlak baik dan akhlak buruk. Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan. Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat (Ahmad Tafsir, 2005: hal. 34-35).
Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi dan pembentukan akhlak, karenanya sebagai sumber pertama Al-Qur’an harus dijadikan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu untuk menuntun kita sebagai manusia berhasil dan menjadi manusia yang ber-akhlakul karimah dengan bertakwa (mengikuti yang diperintahNya dan menjauhi yang dilarangNya). Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang akhlak sangat banyak dan beragam.
Sasaran akhlak menurut Quraish Shihab ada tiga macam, yaitu akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia, dan akhlak kepada lingkungan. Ketiga akhlak tersebut sebagai bentuk potensi manusia untuk selalu meningkatkan akhlak baiknya sebagai bentuk takwa kepada Allah (Quraish Shihab, 2014:347).
Akhlak sebagai Aktualisasi Potensi Manusia
Potensi manusia dalam memelihara alam semesta merupakan suatu kewajiban, sebagai wakil Allah di bumi. Karena prinsipnya, Tuhan, manusia dan alam semesta saling berikatan.
Manusia sebagai khalifah dan yang dikarunia Allah mempunyai akal untuk berfikir, hendaknya mengedepankan akal dan hati dalam melihat fenomena keterkaitan antara Tuhan, manusia dan alam. Akhlak manusia sebagai akhlak Islamiyah mempunyai tiga penjelasan, sebagai berikut:
1) Akhlak Terhadap Allah (Tuhan)
Syahadat merupakan titik tolak manusia berakhlak kepada Allah. Syahadat menyatakan bahwa manusia mengakui adanya Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai nabi Allah. Allah mempunyai sifat-sifat terpuji dan sempurna. Hendaknya manusia sebagai ciptaanNya selalu mengaktualisasikan sifat terpuji tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, manusia hendaknya selalu memujiNya dengan selalu bertasbih, begitu bentuk penyerahan diri manusia terhadap penciptanya (tawakkal) sebagai bentuk perwujudan hablum minaallah. Menurut HS. Koesman (2008:39), ada beberapa akhlak terhadap Allah dan RosulNya yang harus dilakukan manusia, antara lain: dilarang mendahului kehendak Allah, Berlaku sopan terhadap Rosul, ajaran hidup sederhana, tidak berkiblat kepada materi, memakan rejeki yang halal.
Semua akhlak tersebut dekat dengan perbuatan takwa, yaitu dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Oleh karena itu, sesuai dengan petunjuk Allah, apabila manusia mengalami kesulitan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan RosulNya, yaitu menggunakan ayat-ayat Allah dan perkataan Nabi untuk memperoleh solusi yang benar dan baik. Hal tersebut karena Al-Qur’an memberi penjelasan dan jalan keluar tentang kehidupan sehari-hari (ibid: 72).
Orang yang memiliki ketakwaan kepada Allah selalu ingat dan mengabdikan diri kepada Allah secara sungguh-sungguh. Bumi sebagai pijakannya untuk beribadah dan bersujud. Bumi sebagai tempat untuk menghadirkan dimensi supranatural menjadi dimensi yang nyata. Oleh karena itu, manusia yang bertakwa selalu menjaga hubungan baik dengan Allah sebagai Tuhannya, dan menjaga alam semesta sebagai tempat berpijak dalam beribadah kepada Allah, dan menjaga hubungan baik kepada sesama manusia sebagai bentuk manifestasi hablum minallah dan hablum minannas.
2) Akhlak Terhadap Manusia
Manusia disamping sebagai makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial. Karenanya, konsekuensinya adalah harus saling bersosialisasi diantara mereka. Meskipun meraka terdiri dari banyak suku dan bangsa, hal ini karena Allah menciptakan manusia secara plural. Tujuannya, adalah agar manusia saling kenal dan saling tolong menolong. Ini sebagai bentuk perwujudan dari hablun minannas, bahwa sesama manusia harus saling menjaga hubungan yang baik. Etika terhadap sesama manusia, Allah mengajarkan untuk tidak berlaku sombong, menghina, dan memandang rendah orang lain. Itulah sebagai salah satu bentuk ketakwaan manusia kepada Allah dengan menghormati sesama manusai. Sebagaimana dalam FirmanNya QS Luqman:8
Janganlah engkau palingkan mukamu kepada manusia karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan sangat gembira. Sesungguhnya Allah tidak mengasihi tiap-tiap orang yang sombong lagi bermegah-megahan.”
Banyak sekali akhlak atau etika terhadap sesama manusia, antara lain: saling tolong menolong, bersilaturahim, menjaga amanah, tidak berburuk sangka, saling mengenal, tidak sombong, tidak merendahkan terhadap orang lain, saling berbagi, dan banyak lainnya. Semuanya perbuatan baik tersebut mengantarkan manusia menjadi seorang yang bertakwa kepada Allah.
3) Akhlak terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, seperti hewan, tumbuhan, maupun benda yang tidak bernyawa. Menurut Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Sudirman Tebbe (2003: 93), mencintai lingkungan bertujuan untuk mengambil hikmah darinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa alam semesta selalu sujud kepada Allah, sehingga mencintai lingkungan alam mendorong manusia untuk selalu tunduk kepada Allah. Sebagaimana dalam QS Al Israa’: 44.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Kecenderungan manusia terhadap pengelolaan dengan lingkungannya membawa konsekuensi besar, yaitu sebagai bentuk tanggungjawab terhadap alam sekitar. Manusia sebagai khalifah di bumi harus menggunakan akalnya untuk memelihara ciptaanNya yang memang diperuntukkan untuk manusia. Karenanya, manusia harus mengeksplorasi dengan menggunakan etika dan kearifan yang ada.
KH. Ali Yafie memaparkan prinsip-prinsip dasar kewajiban ummat manusia untuk memelihara lingkungan hidup. Pertama, perlindungan jiwa raga (hifdh al-nafs). Ini kewajiban utama dalam pandangan hukum Islam (Fiqh). Kedua, kehidupan dunia sebagai modal kehidupan sesudahnya mestilah diarungi dengan baik tanpa cela. Oleh karenanya, berbuat kerusakan di atas dunia, termasuk merusak lingkungan adalah perbuatan tercela. Ketiga, manusia sebagai makhluk berakal harus memelihara ekosistem. Keseimbangan mutlak harus dijaga demi kelangsungan hidup ummat manusia. Keempat, semua makhluk yang diciptakan tuhan adalah mulia dan berguna. Siapapun dilarang mengekploitasi berlebih-lebihan. Kelima, manusia sebagai pemimpin dimuka bumi adalah pengelola alam demi kelestarian kehidupan. Segala tindakannya di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sementara itu, di sisi lain dijelaskan tentang air, tanah dan udara dalam pandangan fiqh. Tiga komponen penting alam ini pada dasarnya adalah suci. Tiga elemen tersebut tercemar bila tangan jahil dan ketidakpedulian manusia untuk selalu menjaga yang ada di alam semesta.Jika tidak diperhatikan, maka membawa dampak kepada kehidupan. Oleh karenanya, wajib hukumnya pemimpin semua tingkatan, manusia secara menyeluruh untuk memeliharanya (KH Ali Yafie, 2006: 43)
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S Al-A'raf : 96)
Akhlak sebagai Aktualisasi Potensi Manusia
Potensi manusia dalam memelihara alam semesta merupakan suatu kewajiban, sebagai wakil Allah di bumi. Karena prinsipnya, Tuhan, manusia dan alam semesta saling berikatan.
Manusia sebagai khalifah dan yang dikarunia Allah mempunyai akal untuk berfikir, hendaknya mengedepankan akal dan hati dalam melihat fenomena keterkaitan antara Tuhan, manusia dan alam. Akhlak manusia sebagai akhlak Islamiyah mempunyai tiga penjelasan, sebagai berikut:
1) Akhlak Terhadap Allah (Tuhan)
Syahadat merupakan titik tolak manusia berakhlak kepada Allah. Syahadat menyatakan bahwa manusia mengakui adanya Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai nabi Allah. Allah mempunyai sifat-sifat terpuji dan sempurna. Hendaknya manusia sebagai ciptaanNya selalu mengaktualisasikan sifat terpuji tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, manusia hendaknya selalu memujiNya dengan selalu bertasbih, begitu bentuk penyerahan diri manusia terhadap penciptanya (tawakkal) sebagai bentuk perwujudan hablum minaallah. Menurut HS. Koesman (2008:39), ada beberapa akhlak terhadap Allah dan RosulNya yang harus dilakukan manusia, antara lain: dilarang mendahului kehendak Allah, Berlaku sopan terhadap Rosul, ajaran hidup sederhana, tidak berkiblat kepada materi, memakan rejeki yang halal.
Semua akhlak tersebut dekat dengan perbuatan takwa, yaitu dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Oleh karena itu, sesuai dengan petunjuk Allah, apabila manusia mengalami kesulitan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan RosulNya, yaitu menggunakan ayat-ayat Allah dan perkataan Nabi untuk memperoleh solusi yang benar dan baik. Hal tersebut karena Al-Qur’an memberi penjelasan dan jalan keluar tentang kehidupan sehari-hari (ibid: 72).
Orang yang memiliki ketakwaan kepada Allah selalu ingat dan mengabdikan diri kepada Allah secara sungguh-sungguh. Bumi sebagai pijakannya untuk beribadah dan bersujud. Bumi sebagai tempat untuk menghadirkan dimensi supranatural menjadi dimensi yang nyata. Oleh karena itu, manusia yang bertakwa selalu menjaga hubungan baik dengan Allah sebagai Tuhannya, dan menjaga alam semesta sebagai tempat berpijak dalam beribadah kepada Allah, dan menjaga hubungan baik kepada sesama manusia sebagai bentuk manifestasi hablum minallah dan hablum minannas.
2) Akhlak Terhadap Manusia
Manusia disamping sebagai makhluk individu, juga berperan sebagai makhluk sosial. Karenanya, konsekuensinya adalah harus saling bersosialisasi diantara mereka. Meskipun meraka terdiri dari banyak suku dan bangsa, hal ini karena Allah menciptakan manusia secara plural. Tujuannya, adalah agar manusia saling kenal dan saling tolong menolong. Ini sebagai bentuk perwujudan dari hablun minannas, bahwa sesama manusia harus saling menjaga hubungan yang baik. Etika terhadap sesama manusia, Allah mengajarkan untuk tidak berlaku sombong, menghina, dan memandang rendah orang lain. Itulah sebagai salah satu bentuk ketakwaan manusia kepada Allah dengan menghormati sesama manusai. Sebagaimana dalam FirmanNya QS Luqman:8
Janganlah engkau palingkan mukamu kepada manusia karena sombong dan jangan berjalan di muka bumi dengan sangat gembira. Sesungguhnya Allah tidak mengasihi tiap-tiap orang yang sombong lagi bermegah-megahan.”
Banyak sekali akhlak atau etika terhadap sesama manusia, antara lain: saling tolong menolong, bersilaturahim, menjaga amanah, tidak berburuk sangka, saling mengenal, tidak sombong, tidak merendahkan terhadap orang lain, saling berbagi, dan banyak lainnya. Semuanya perbuatan baik tersebut mengantarkan manusia menjadi seorang yang bertakwa kepada Allah.
3) Akhlak terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, seperti hewan, tumbuhan, maupun benda yang tidak bernyawa. Menurut Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Sudirman Tebbe (2003: 93), mencintai lingkungan bertujuan untuk mengambil hikmah darinya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa alam semesta selalu sujud kepada Allah, sehingga mencintai lingkungan alam mendorong manusia untuk selalu tunduk kepada Allah. Sebagaimana dalam QS Al Israa’: 44.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Kecenderungan manusia terhadap pengelolaan dengan lingkungannya membawa konsekuensi besar, yaitu sebagai bentuk tanggungjawab terhadap alam sekitar. Manusia sebagai khalifah di bumi harus menggunakan akalnya untuk memelihara ciptaanNya yang memang diperuntukkan untuk manusia. Karenanya, manusia harus mengeksplorasi dengan menggunakan etika dan kearifan yang ada.
KH. Ali Yafie memaparkan prinsip-prinsip dasar kewajiban ummat manusia untuk memelihara lingkungan hidup. Pertama, perlindungan jiwa raga (hifdh al-nafs). Ini kewajiban utama dalam pandangan hukum Islam (Fiqh). Kedua, kehidupan dunia sebagai modal kehidupan sesudahnya mestilah diarungi dengan baik tanpa cela. Oleh karenanya, berbuat kerusakan di atas dunia, termasuk merusak lingkungan adalah perbuatan tercela. Ketiga, manusia sebagai makhluk berakal harus memelihara ekosistem. Keseimbangan mutlak harus dijaga demi kelangsungan hidup ummat manusia. Keempat, semua makhluk yang diciptakan tuhan adalah mulia dan berguna. Siapapun dilarang mengekploitasi berlebih-lebihan. Kelima, manusia sebagai pemimpin dimuka bumi adalah pengelola alam demi kelestarian kehidupan. Segala tindakannya di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sementara itu, di sisi lain dijelaskan tentang air, tanah dan udara dalam pandangan fiqh. Tiga komponen penting alam ini pada dasarnya adalah suci. Tiga elemen tersebut tercemar bila tangan jahil dan ketidakpedulian manusia untuk selalu menjaga yang ada di alam semesta.Jika tidak diperhatikan, maka membawa dampak kepada kehidupan. Oleh karenanya, wajib hukumnya pemimpin semua tingkatan, manusia secara menyeluruh untuk memeliharanya (KH Ali Yafie, 2006: 43)
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S Al-A'raf : 96)
Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2005
Alim, Sahirul, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Islam. Yogyakarta: Titian Illahi, 1998
H.S. Koesman, Etika dan Moralitas Islami: Berdasarkan Ajaran Al-Qur’an Al-Karim. Semarang: Pustaka Nuun, 2008
Yafie, Ali, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup. Jakarta: UFUK PRESS,2006
Tebbe, Sudirman, Tasawuf Positif. Bogor: Kencana, 2003
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2005
Alim, Sahirul, Menguak Keterpaduan Sains Teknologi dan Islam. Yogyakarta: Titian Illahi, 1998
H.S. Koesman, Etika dan Moralitas Islami: Berdasarkan Ajaran Al-Qur’an Al-Karim. Semarang: Pustaka Nuun, 2008
Yafie, Ali, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup. Jakarta: UFUK PRESS,2006
Tebbe, Sudirman, Tasawuf Positif. Bogor: Kencana, 2003