MEMBENTUK KARAKTER MUSLIM SEJATI Tafsir QS. al-Fath: 29
Oleh: Umma Farida
Pendahuluan
Globalisasi menjadikan dunia tanpa sekat dan batas. Disamping memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia termasuk umat Islam, namun harus diakui pula bahwa globalisasi juga membawa dampak negatif, di antaranya adalah bergesernya nilai-nilai etis, krisis moral dan lunturnya budaya ketimuran bagi umat Islam Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia menekankan pendidikan karakter akhir-akhir ini.
Sejalan dengan hal tersebut, pembentukan karakter muslim sejati juga dibutuhkan umat Islam. Ini dimaksudkan agar umat Islam tidak terperdaya dengan karakter negatif yang tersosialisasikan seiring bersamaan dengan arus globalisasi.
Karakter Muslim menurut al-Qur’an
Allah Swt. telah menjelaskan karakter muslim yang sesungguhnya dalam QS. al-Fath: 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَماءُ بَيْنَهُمْ تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْواناً سِيماهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْراةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوى عَلى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
Artinya:
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang keras terhadap orang-orang kafir, (namun) berkasih sayang antar mereka. Engkau melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Itulah sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Taurat. Sedang sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Injil, adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu ia menguatkannya lalu tegak lurus di atas pokoknya; menyenangkan hati penanam-penanamnya. Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengannya. Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Nabi Muhammad Saw. bagi umat Islam adalah nabi dan rasul serta teladan yang agung. Kehadiran beliau sebagai rahmat bagi seluruh semesta. Segala sabda, perilaku, dan sifat beliau senantiasa dijadikan panutan umat Islam. Beliau adalah pendidik terbaik yang mencetak generasi terbaik pula, yakni generasi sahabat, yang disebut sebagai sebaik-baik generasi dengan keimanan yang kokoh dan karakter pribadi yang terpuji.
Umat Islam kini meski tidak merasakan didikan langsung dari Nabi Muhammad Saw. bukan berarti tidak memiliki peluang untuk menjadi generasi terbaik. Ini dikarenakan al-Qur’an telah mendeskripsikan karakter dari para sahabat yang bisa diteladani sampai masa kini.
Karakter para sahabat yang mencerminkan karakter umat Islam sejati sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Fath: 29 adalah sebagai berikut:
Pertama, keras terhadap kaum kafir. Keras bermakna tegas terutama yang terkait dengan aqidah. Umat Islam tidak boleh berbasa-basi dan mengorbankan keimanan mereka demi berkompromi dengan pihak non-muslim. Keras di sini bukan berarti kejam dan melampaui batas terhadap orang non-muslim. Islam telah mengajarkan bahwa kita diperkenankan angkat senjata hanya ketika kita diperangi, bukan dalam kondisi damai.
Karakter pertama ini juga menunjukkan adanya perintah untuk bersikap tegas mempertahankan aqidah. Tidak tergoda dengan berbagai rayuan duniawi dengan kompensasi ganti pertukaran keimanan, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta ketika diselenggarakan Car Free Day ternyata ditemukan oknum yang memanfaatkannya untuk melakukan penukaran keimanan (agama) dengan iming-iming perhiasan emas, baik kalung, anting, ataupun gelang, yang sejatinya sungguh ironis terjadi di bumi Indonesia yang notabene menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduknya untuk menganut agama dan keyakinan tertentu dengan bebas, tanpa iming-iming atau paksaan dari pihak manapun.
Kedua, berkasih sayang dengan sesama muslim. Sudah selayaknya umat Islam saling mengasihi antar mereka. Nabi Muhammad Saw. sendiri menyabdakan bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh. Jika salah satu tubuh kesakitan, maka tubuh yang lainnya juga akan merasakan sakit. Dalam sabdanya yang lain, beliau mengumpamakan umat Islam dengan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain.
Sabda Nabi Saw. di atas mengindikasikan bahwa umat Islam harus bersatu padu dan berkasih sayang satu dengan yang lainnya. Jika umat Islam bersatu dan bahu membahu maka hal itu akan menggetarkan hati non-muslim dan akan sulit bagi mereka untuk mengadu domba dan memecah belah umat Islam.
Pentingnya kasih sayang terhadap sesama umat Islam ini juga dicontohkan oleh Nabi Saw. sejak beliau hijrah ke Madinah. Langkah pertama menciptakan kasih sayang itu beliau tempuh dengan cara mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansor. Bahkan, mereka sering membagikan makanan dan harta yang mereka miliki kepada saudaranya sesama muslim, tidak peduli meski mereka sendiri dalam kondisi yang serba pas-pasan dan kekurangan.
Andai umat Islam mau bersatu dan memiliki rasa kasih sayang serta kepedulian dengan sesama muslim, maka konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina akan bisa segera terurai. Sudah seharusnya umat Islam tidak mengedepankan emosi kesukuan dan egoisme kewilayahan demi memperoleh kejayaan Islam yang kini telah pudar. Disamping itu, umat Islam juga akan mampu menghadang rekayasa Zionis dan non-muslim lainnya yang selama ini sering menjadikan umat Islam kewalahan menghadapinya.
Ketiga, teguh menjalankan ajaran agama. Karakter ketiga ini menunjukkan bahwa umat Islam tidak hanya teguh memegangi aqidah saja, namun juga harus teguh dan konsisten memegangi ajaran agama Islam. Ajaran inti dari Islam adalah shalat yang merupakan bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah Swt. dengan berbagai syarat dan rukun tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Keteguhan seseorang dalam menunaikan shalat ini mencerminkan keteguhan sikap dan kelurusan berpikir dalam kehidupan kesehariannya. Nabi Saw. mengajarkan kita apabila kita ingin mengetahui karakter seseorang maka lihatlah kesehariannya dalam menunaikan shalat. Jika ia disiplin dan konsisten menjalankannya maka demikian pulalah perilakunya, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, shalat menjadi ukuran keberagamaan seseorang. Orang yang menunaikan shalat akan memancarkan kewibawaan, penghormatan, dan kekaguman bagi siapapun yang akan melihatnya. Inilah yang disinyalir dalam simahum fi wujuhihim min atsarissujud, bukan yang dimaksudkan bekas sujud yang ada di antara kedua mata di dahi seseorang, yang bisa jadi itu terjadi akibat sering bersentuhan dengan benda keras.
Quraish Shihab (2002: 13: 217) mengutip suatu riwayat dari Anas ibn Malik, bahwa Nabi Saw. bersabda, ”Sesungguhnya aku tidak menyenangi jika aku melihat di antara kedua matanya (dahinya) bekas sujud.” Abu ad-Darda’, seorang sahabat Nabi Saw. juga pernah berkata, ”Andai bekas itu tidak ada, maka ia lebih baik, karena yang bersangkutan lebih dapat menghindarkan dirinya dari riya.”
Ath-Thabari (2000: 7: 264) dan Ibn Katsir (1419 H.: 3: 337) menjelaskan bahwa maksud dari atsar as-sujud adalah menjadikan seseorang lebih khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah. Bekas sujud mereka akan terpancar dari wajah mereka nanti pada hari kiamat. Sementara al-Qurthubi (1964: 6: 294) menguraikan bahwa bekas sujud itu bisa juga tampak di dunia sehingga jika orang melihatnya akan tergugah untuk berdzikir dan tunduk kepada Allah. Syahr ibn Hausyab berkata, ”Bekas sujud yang sebenarnya akan memancarkan wajah seseorang bagaikan bulan purnama.”
Karakter keempat dan terakhir ini merupakan akumulasi dari rangkaian karakter sebelumnya, yaitu bahwa umat Islam selalu menjadikan segala aktifitas selama hidupnya hanya untuk menggapai ridha Allah Swt. semata. Tidak sepantasnya umat Islam menyandarkan aktifitasnya untuk kepentingan dunia yang fana ini. Nabi Saw. telah mengingatkan agar segala aktifitas seseorang diniatkan untuk ibadah kepada Allah dan meraih ridha-Nya. Jika seseorang melandaskan aktifitasnya untuk kepentingan duniawi maka hanya kepentingan duniawi itu yang diraihnya, sementara pahala atau ganjaran dari aktifitasnya itu tidak diperolehnya. Dengan demikian, ridha Allah menjadi tujuan setiap umat Islam, karena Nabi Saw. telah menyampaikan bahwa jika Allah telah ridha terhadap seseorang maka Allah akan menjadikan penglihatan-Nya sebagai mata yang ia gunakan untuk melihat, menjadikan pendengaran-Nya sebagai telinga yang dengannya ia mendengar, dan melindunginya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Swt. Semoga kita semua bisa menanamkan keempat karakter ini dalam diri dan keseharian aktifitas kita. Aamiin..
Globalisasi menjadikan dunia tanpa sekat dan batas. Disamping memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia termasuk umat Islam, namun harus diakui pula bahwa globalisasi juga membawa dampak negatif, di antaranya adalah bergesernya nilai-nilai etis, krisis moral dan lunturnya budaya ketimuran bagi umat Islam Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia menekankan pendidikan karakter akhir-akhir ini.
Sejalan dengan hal tersebut, pembentukan karakter muslim sejati juga dibutuhkan umat Islam. Ini dimaksudkan agar umat Islam tidak terperdaya dengan karakter negatif yang tersosialisasikan seiring bersamaan dengan arus globalisasi.
Karakter Muslim menurut al-Qur’an
Allah Swt. telah menjelaskan karakter muslim yang sesungguhnya dalam QS. al-Fath: 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَماءُ بَيْنَهُمْ تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْواناً سِيماهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْراةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوى عَلى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
Artinya:
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang keras terhadap orang-orang kafir, (namun) berkasih sayang antar mereka. Engkau melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Itulah sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Taurat. Sedang sifat-sifat mereka yang mengagumkan dalam Injil, adalah seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu ia menguatkannya lalu tegak lurus di atas pokoknya; menyenangkan hati penanam-penanamnya. Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengannya. Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Nabi Muhammad Saw. bagi umat Islam adalah nabi dan rasul serta teladan yang agung. Kehadiran beliau sebagai rahmat bagi seluruh semesta. Segala sabda, perilaku, dan sifat beliau senantiasa dijadikan panutan umat Islam. Beliau adalah pendidik terbaik yang mencetak generasi terbaik pula, yakni generasi sahabat, yang disebut sebagai sebaik-baik generasi dengan keimanan yang kokoh dan karakter pribadi yang terpuji.
Umat Islam kini meski tidak merasakan didikan langsung dari Nabi Muhammad Saw. bukan berarti tidak memiliki peluang untuk menjadi generasi terbaik. Ini dikarenakan al-Qur’an telah mendeskripsikan karakter dari para sahabat yang bisa diteladani sampai masa kini.
Karakter para sahabat yang mencerminkan karakter umat Islam sejati sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Fath: 29 adalah sebagai berikut:
Pertama, keras terhadap kaum kafir. Keras bermakna tegas terutama yang terkait dengan aqidah. Umat Islam tidak boleh berbasa-basi dan mengorbankan keimanan mereka demi berkompromi dengan pihak non-muslim. Keras di sini bukan berarti kejam dan melampaui batas terhadap orang non-muslim. Islam telah mengajarkan bahwa kita diperkenankan angkat senjata hanya ketika kita diperangi, bukan dalam kondisi damai.
Karakter pertama ini juga menunjukkan adanya perintah untuk bersikap tegas mempertahankan aqidah. Tidak tergoda dengan berbagai rayuan duniawi dengan kompensasi ganti pertukaran keimanan, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta ketika diselenggarakan Car Free Day ternyata ditemukan oknum yang memanfaatkannya untuk melakukan penukaran keimanan (agama) dengan iming-iming perhiasan emas, baik kalung, anting, ataupun gelang, yang sejatinya sungguh ironis terjadi di bumi Indonesia yang notabene menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduknya untuk menganut agama dan keyakinan tertentu dengan bebas, tanpa iming-iming atau paksaan dari pihak manapun.
Kedua, berkasih sayang dengan sesama muslim. Sudah selayaknya umat Islam saling mengasihi antar mereka. Nabi Muhammad Saw. sendiri menyabdakan bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh. Jika salah satu tubuh kesakitan, maka tubuh yang lainnya juga akan merasakan sakit. Dalam sabdanya yang lain, beliau mengumpamakan umat Islam dengan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain.
Sabda Nabi Saw. di atas mengindikasikan bahwa umat Islam harus bersatu padu dan berkasih sayang satu dengan yang lainnya. Jika umat Islam bersatu dan bahu membahu maka hal itu akan menggetarkan hati non-muslim dan akan sulit bagi mereka untuk mengadu domba dan memecah belah umat Islam.
Pentingnya kasih sayang terhadap sesama umat Islam ini juga dicontohkan oleh Nabi Saw. sejak beliau hijrah ke Madinah. Langkah pertama menciptakan kasih sayang itu beliau tempuh dengan cara mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansor. Bahkan, mereka sering membagikan makanan dan harta yang mereka miliki kepada saudaranya sesama muslim, tidak peduli meski mereka sendiri dalam kondisi yang serba pas-pasan dan kekurangan.
Andai umat Islam mau bersatu dan memiliki rasa kasih sayang serta kepedulian dengan sesama muslim, maka konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina akan bisa segera terurai. Sudah seharusnya umat Islam tidak mengedepankan emosi kesukuan dan egoisme kewilayahan demi memperoleh kejayaan Islam yang kini telah pudar. Disamping itu, umat Islam juga akan mampu menghadang rekayasa Zionis dan non-muslim lainnya yang selama ini sering menjadikan umat Islam kewalahan menghadapinya.
Ketiga, teguh menjalankan ajaran agama. Karakter ketiga ini menunjukkan bahwa umat Islam tidak hanya teguh memegangi aqidah saja, namun juga harus teguh dan konsisten memegangi ajaran agama Islam. Ajaran inti dari Islam adalah shalat yang merupakan bentuk pengabdian seorang hamba kepada Allah Swt. dengan berbagai syarat dan rukun tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Keteguhan seseorang dalam menunaikan shalat ini mencerminkan keteguhan sikap dan kelurusan berpikir dalam kehidupan kesehariannya. Nabi Saw. mengajarkan kita apabila kita ingin mengetahui karakter seseorang maka lihatlah kesehariannya dalam menunaikan shalat. Jika ia disiplin dan konsisten menjalankannya maka demikian pulalah perilakunya, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, shalat menjadi ukuran keberagamaan seseorang. Orang yang menunaikan shalat akan memancarkan kewibawaan, penghormatan, dan kekaguman bagi siapapun yang akan melihatnya. Inilah yang disinyalir dalam simahum fi wujuhihim min atsarissujud, bukan yang dimaksudkan bekas sujud yang ada di antara kedua mata di dahi seseorang, yang bisa jadi itu terjadi akibat sering bersentuhan dengan benda keras.
Quraish Shihab (2002: 13: 217) mengutip suatu riwayat dari Anas ibn Malik, bahwa Nabi Saw. bersabda, ”Sesungguhnya aku tidak menyenangi jika aku melihat di antara kedua matanya (dahinya) bekas sujud.” Abu ad-Darda’, seorang sahabat Nabi Saw. juga pernah berkata, ”Andai bekas itu tidak ada, maka ia lebih baik, karena yang bersangkutan lebih dapat menghindarkan dirinya dari riya.”
Ath-Thabari (2000: 7: 264) dan Ibn Katsir (1419 H.: 3: 337) menjelaskan bahwa maksud dari atsar as-sujud adalah menjadikan seseorang lebih khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah. Bekas sujud mereka akan terpancar dari wajah mereka nanti pada hari kiamat. Sementara al-Qurthubi (1964: 6: 294) menguraikan bahwa bekas sujud itu bisa juga tampak di dunia sehingga jika orang melihatnya akan tergugah untuk berdzikir dan tunduk kepada Allah. Syahr ibn Hausyab berkata, ”Bekas sujud yang sebenarnya akan memancarkan wajah seseorang bagaikan bulan purnama.”
Karakter keempat dan terakhir ini merupakan akumulasi dari rangkaian karakter sebelumnya, yaitu bahwa umat Islam selalu menjadikan segala aktifitas selama hidupnya hanya untuk menggapai ridha Allah Swt. semata. Tidak sepantasnya umat Islam menyandarkan aktifitasnya untuk kepentingan dunia yang fana ini. Nabi Saw. telah mengingatkan agar segala aktifitas seseorang diniatkan untuk ibadah kepada Allah dan meraih ridha-Nya. Jika seseorang melandaskan aktifitasnya untuk kepentingan duniawi maka hanya kepentingan duniawi itu yang diraihnya, sementara pahala atau ganjaran dari aktifitasnya itu tidak diperolehnya. Dengan demikian, ridha Allah menjadi tujuan setiap umat Islam, karena Nabi Saw. telah menyampaikan bahwa jika Allah telah ridha terhadap seseorang maka Allah akan menjadikan penglihatan-Nya sebagai mata yang ia gunakan untuk melihat, menjadikan pendengaran-Nya sebagai telinga yang dengannya ia mendengar, dan melindunginya dari segala hal yang dibenci oleh Allah Swt. Semoga kita semua bisa menanamkan keempat karakter ini dalam diri dan keseharian aktifitas kita. Aamiin..
BAHAN BACAAN
Al-Qur’an al-Karim
Abu al-Fida’ Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H.).
Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2000).
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Al-Qur’an al-Karim
Abu al-Fida’ Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H.).
Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2000).
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).